Kamis, 1 Agustus 2024
BACAAN ALKITAB Keluaran 32: 19-26a
Di awal bulan Agustus ini, mari kita membayangkan perasaan Musa saat turun dari Gunung Sinai. Ia baru saja menerima Sepuluh Perintah Allah, tanda perjanjian antara Allah dan umat Israel. Namun, apa yang ia temukan? Umat yang seharusnya setia menyembah Allah, malah menari-nari di sekitar patung anak lembu emas. Kepercayaan yang dibangun dengan susah payah, runtuh seketika.
Kemarahan Musa meledak. Ia melemparkan loh batu yang berisi Sepuluh Perintah Allah, menghancurkannya berkeping-keping. Kemarahannya adalah cerminan dari kekecewaan mendalam akan pengkhianatan umat yang dikasihinya.
Harun, yang seharusnya menjadi pemimpin sementara saat Musa pergi, malah menjadi pembuat alasan. Ia menyalahkan bangsa itu, seolah-olah dirinya tidak punya andil dalam pembuatan patung berhala tersebut.
Namun, di tengah kemarahan yang membara, Musa tetap menjadi pemimpin yang bertanggung jawab. Ia tidak tinggal diam melihat umat yang semakin terjerumus dalam dosa. Ia menghancurkan patung berhala, menghukum orang-orang yang terlibat, dan memohon pengampunan Allah atas dosa umat Israel.
Kisah ini mengajarkan kita beberapa hal penting. Pertama, goyahnya kepercayaan dapat memicu kemarahan. Musa, yang begitu percaya pada kesetiaan umat Israel, merasa dikhianati. Kemarahannya adalah luapan emosi yang wajar, namun ia tidak membiarkan kemarahannya menguasai dirinya. Ia tetap mencari solusi dan bertindak bijaksana. Kedua, tanggung jawab seorang pemimpin. Harun gagal menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Ia tidak berani menegur umat yang menyimpang, malah ikut arus dan mencari pembenaran. Seorang pemimpin sejati harus berani membela kebenaran, bahkan jika itu berarti melawan arus. Ketiga, belas kasih Allah. Meskipun umat Israel telah berdosa besar, Allah tetap mengampuni mereka atas permohonan Musa. Kasih Allah tidak berkesudahan, Ia selalu siap mengampuni orang yang sungguh-sungguh bertobat.
Dalam kehidupan kita, kita juga seringkali menghadapi situasi yang menguji kepercayaan kita. Mungkin kita merasa dikhianati oleh orang yang kita percaya, atau melihat ketidakadilan yang membuat kita marah. Namun, seperti Musa, kita harus belajar mengendalikan emosi kita dan mencari solusi yang bijaksana.
Sebagai orang percaya, kita juga dipanggil untuk menjadi pemimpin, baik di keluarga, gereja, maupun masyarakat. Marilah kita belajar dari kesalahan Harun dan menjadi pemimpin yang berani membela kebenaran dan bertanggung jawab atas tindakan kita.
Dan yang terpenting, marilah kita selalu ingat akan belas kasih Allah yang tak terbatas. Sekalipun kita pernah jatuh dalam dosa, Allah selalu siap mengampuni kita jika kita sungguh-sungguh bertobat. Amin.
- Kaum muda yang mau belajar berbagai keterampilan.
- Perdamaian di Indonesia dan di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar