Tataibadah
Harian
Senin,
16 Januari 2023
“Dipanggil
untuk Menyatakan Kemuliaan Allah”
Saat
teduh
Doa
pembukaan
Dipimpin
seorang anggota keluarga
Nyanyian
Bersama
NKB
126 – Tuhan Memanggilmu
Tuhan
memanggilmu, hai dengarlah:
“Apapun
yang terbaik, ya b’rikanlah!”
Dan
jangan kaukejar hormat semu,
muliakan
saja Yesus, Tuhanmu.
Tiap
karya diberkati-Nya,
namun yang terbaik diminta-Nya.
Walaupun tak besar talentamu,
b’ri yang terbaik
kepada Tuhanmu.
Sanjungan
dunia jauhkanlah
dan
jangan kaudengar godaannya.
Layani
Tuhanmu dalam jerih
dalam
hidupmu yang t’lah kauberi.
Pembacaan
Mazmur
Mazmur 139.1-6; 13-18
Dibacakan
oleh seorang anggota keluarga
Perenungan
Sabda
-
Doa
persiapan
-
Pembacaan
Alkitab:
1 Samuel 3.1-10
1 Korintus 6.12-20
Yohanes 1.43-51
Dibacakan oleh seorang anggota keluarga
“Dipanggil
untuk Menyatakan Kemuliaan Allah”
Bacaan:
1 Samuel 3.1-10
1 Korintus 6.12-20
Yohanes 1.43-51
Jika kita mendengar seseorang mengatakan
tentang panggilan (Tuhan), biasanya hal itu diasosiasikan dengan hamba Tuhan
atau pendeta. Beberapa kali saya ditanya, “Mengapa Saudara bisa menjadi seorang
pendeta? Apakah itu disebabkan karena panggilan?”
Kalau kita tinjau secara etimologis,
sesungguhnya kata “panggilan” itu bisa mempunyai beraneka konotasi.
Pertama, sebutan untuk seseorang. Jika kita
menyebut seseorang dengan namanya, maka kita bisa menyebut bahwa itulah
panggilannya. Jika Saudara menyebut seseorang dengan Roy, maka Roy adalah panggilan
untuk orang itu.
Kedua, ketika badan kita sedang pegal atau
letih. Kita bisa menelpon tukang urut. Ada tukang urut tradisional, ada tukang
urut profesional. Ada tukang urut untuk kesehatan, ada tukang urut untuk
menyembuhkan keseleo. Orang semacam itu disebut orang panggilan. Dalam konotasi
ini, panggilan dapat diartikan kehadiran sesuai dengan kebutuhan.
Lalu, panggilan seperti apakah yang dimaksud
dalam konotasi kehidupan orang kristen?
Ketika kita membaca 1 Samuel 3.1-10, kita
akan menemukan bahwa panggilan yang dimaksud bagi Samuel adalah sebuah ajakan,
tepatnya dorongan yang kuat, untuk melakukan sesuatu. Samuel dipanggil Allah
untuk menyuarakan kebenaran Allah kepada Eli, yang saat itu perlu ditegur,
sehubungan dengan kenakalan Hofni dan Pinehas, yang dianggap sudah melewati
batas.
Di sini muncul pertanyaan, bagaimanakah
panggilan Allah bisa dikenali oleh Samuel?
Tentu Alkitab memberi petunjuk kepada kita
mengenai hal ini. Samuel, yang masih belum mengenali suara yang didengarnya,
diberitahu oleh Eli, bahwa suara itu adalah suara Allah. Dalam kenyataannya,
sering kali kita juga bertanya, seperti apakah panggilan Allah itu? Bagaimana
membedakannya dengan “panggilan-panggilan” lain?
(Baca tulisan Dr. Liem Khiem Yang tentang
Suara Allah, yang membedakannya dengan suara hati atau hati nurani)
Setiap hari saya punya kebiasaan berefleksi
dalam keheningan. Setelah itu, hasil refleksinya saya kirimkan melalui sms
kepada orang-orang lain. Suatu ketika, seorang anggota persekutuan doa, setelah
mendapat sms itu, mengirimkan balasan, “Enak ya, jadi pendeta, punya akses
langsung sama yang di atas, jadi tahu apa maksud Tuhan bagi kita …” Lalu saya
mengatakan, “Setiap orang juga punya akses yang sama untuk mendengarkan suara
Tuhan. Tergantung kerinduan orang itu untuk mendengarkan suara Tuhan.”
Mungkin pada awalnya seseorang yang belum
biasa berhubungan dengan Tuhan seperti Samuel akan mengalami kesulitan untuk
membedakan manakah suara Tuhan dan mana yang bukan. Akan tetapi di sekitar kita
banyak orang dan peristiwa yang dapat membuat kita lebih peka terhadap suara
Tuhan, dan kemudian menanggapinya.
Salah satu bentuk pertolongan yang ditemui
dalam 1 Samuel 3 adalah melalui orang yang lebih berpengalaman berkomunikasi
dengan Allah, yaitu Imam Eli.
Selain model seperti yang dicatat dalam 1
Samuel 3, ada juga panggilan yang ditandai dengan cara lain.
Max Weber, seorang sosiolog Kristen kelahiran
Jerman, yang berkiprah di Eropa, memperkenalkan sebuah istilah untuk menyebut
“panggilan” ini. Dalam istilahnya, panggilan (beruf) adalah sebuah aktivitas yang dijalani tanpa keluhan,
dilakukan dengan sukacita, sebagai sebuah kesatuan dengan diri seseorang,
dengan tujuan meningkatkan produktivitas. Dengan kata lain, seorang yang
menghayati panggilannya akan mendedikasikan hidupnya pada panggilannya itu. Alhasil,
istilah ini kemudian populer untuk mengangkat etos kerja masyarakat Eropa yang
didominasi oleh orang-orang Kristen. Itulah sebabnya pada masa itu orang
kristen dikenal sebagai orang yang mampu menghasilkan uang lebih banyak, karya
lebih bagus, dan sebagainya. Masyarakat Eropa jadi lebih maju dan berkembang
karena konsep “panggilan” ini.
Jadi, seorang tukang kayu, misalnya, akan
memperoleh hasil yang optimal ketika ia menjalankan “panggilan”nya sebagai
seorang tukang kayu, yang tekun mengerjakan kayunya, dan bukan sebagai tukang
ojek yang sibuk menawarkan tumpangan ke mana-mana. Pekerjaannya berkaitan
dengan sesuatu yang amat disukainya, sungguh-sungguh ditekuninya dengan giat
dan rajin, sehingga hasilnya juga lebih optimal.
Ilustrasi:
Kisah seorang anak yang berjualan kue, yang
tak mau diberi sedekah.
Mengapa? Karena ia seorang penjual kue!
Panggilannya adalah untuk menjual kue, bukan untuk minta sedekah!
Dalam bukunya, Switch Spot (Gloria Graffa: 2008), Max Lucado menjelaskan bahwa setiap
orang sesungguhnya telah dikaruniai sesuatu yang khusus oleh Tuhan. Ada sebuah
momentum yang menyenangkan kala seseorang melakukan sesuatu. (Jelaskan
kesenangan mengirim sms reflektif). Carilah sesuatu yang bagi kita terasa pas
untuk dilakukan, dan kita bisa melakukannya tanpa tekanan, sehingga jika
dilakukan, hasilnya bisa optimal. Oleh karena itu, Lucado menegaskan, tidak ada
seseorang pun yang boleh mengatakan, “Aku tidak punya apa-apa! Aku tidak bisa
melakukan apa-apa!”
Kalau kita merasakan panggilan kita adalah
menjadi seorang guru, kita pasti akan melakukan tugas selayaknya seorang guru:
membaca materi, mempelajarinya, menyiapkan metode pengajaran, mencari alat
peraga untuk mendukung pengajarannya, menentukan rencana pelajaran, menyiapkan
soal-soal untuk dijadikan PR murid-muridnya, membuat soal ulangan, dan
sebagainya. Lebih dari itu, sebagai seorang guru, ia dihadapkan pada
tanggungjawab mendidik dan mendewasakan muridnya. Oleh karena itu dalam dirinya
perlu ada disiplin, agar bisa menanamkan keteladanan dalam diri naradidiknya.
Misalnya: datang ke sekolah tidak terlambat.
Pada dasarnya, pekerjaan sebagai guru itulah
yang ia tekuni dan gumuli. Dalam menjalaninya, ia menikmatinya. Di situ kita
dapat mengatakan bahwa menjadi seorang guru itulah panggilannya.
Dalam tesaurus bahasa Indonesia, panggilan
mempunyai 2 arti:
1.
ajakan,
anjuran, seruan, himbauan, lambaian, undangan, permintaan; dan
2.
julukan,
nama, sebutan, sapaan.
Jadi, panggilan itu bisa dinyatakan kepada
kita berupa kesempatan untuk menjalani sebuah babak dalam kehidupan yang
kemudian membuat kita asyik melakukannya. Kala itu yang terjadi, maka kita bisa
lebih optimal dengan karya kita.
Akan tetapi ada juga orang yang merasa
terpanggil tapi tidak mau menjalani panggilannya dengan optimal. Dia
malas-malasan dengan panggilannya. Dia tidak mau menghayati panggilannya, dan
menyalahgunakannya hanya demi keuntungannya sendiri. Contohnya, jika seorang
sudah merasa senang menjalani pekerjaan tertentu, tapi yang ada di kepalanya
cuma bagaimana ia memanfaatkan pekerjaannya untuk memperoleh uang banyak, tanpa
menjalankannya secara profesional.
Sebagai anak-anak Tuhan, sesuai dengan
catatan 1 Korintus 6 ayat 20 kita dipanggil untuk mempraktekkan hidup kudus.
Mulailah dengan hati kita. Sebab dari situlah asal semua gerak-gerik kita. Lalu
peliharalah pikiran yang bersih. Dengan itu kita punya modal untuk
memperlihatkan tindakan yang benar.
Sekarang, apakah kita menghayati panggilan
Allah untuk memuliakan Dia melalui hidup kita? Apakah kita merasa senang jika
melalui hidup kita, kita memuliakan Dia? Coba introspeksi diri: jika kita
direndahkan atau diremehkan orang, apakah kita memegang teguh gengsi pribadi
dan menyerang dia, ketimbang merendah dan mengampuninya, serta berdamai
dengannya? Jika kita disepelekan, akankah kita mengamuk dan mengata-ngatai
orang itu dengan kata-kata yang kasar dan tidak senonoh? Jika kita dilukai,
apakah kita masih bersedia memperlakukan orang itu dengan keramahan seperti
sebelum kita dilukai? Masih bisakah kita tersenyum padanya?
Lalu, jika kita diminta melayani Tuhan,
apakah kita bersukacita atau bersungut-sungut?
Jika itu bisa kita lakukan, kita bisa
berharap panggilan memuliakan Allah terwujud melalui hidup kita. Semoga!
Doa
Bersama
Mari
mendoakan:
-
kehidupan
umat; yang sakit dan yang bergumul dengan kehidupan ekonomi
-
Masa
depan bangsa dan negara RI
Nyanyian
Bersama
NKB
199 – Sudahkah Yang Terbaik Kuberikan
Sudahkah
yang terbaik kuberikan kepada Yesus, Tuhanku?
Besar
pengurbanan-Nya di Kalvari! diharap-Nya terbaik dariku.
Berapa
yang terhilang t’lah kucari
dan kulepaskan yang
terbelenggu?
Sudahkah yang terbaik kuberikan
kepada Yesus,
Tuhanku?
Begitu
banyak waktu yang terluang sedikit kub’ri bagi-Nya
Sebab
kurang kasihku pada Yesus; mungkinkah hancur pula hati-Nya?
Telah
kuperhatikankah sesama, atau kubiarkan tegar?
‘Ku
patut menghantarnya pada Kristus dan kasih Tuhan harus kusebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar